2012, Ekonomi Prorakyat

Irwan Wisanggeni, Dosen dan Alumnus Magister Akuntansi Trisakti

Koran Jakarta 28/11/2011

Menjelang 2012, para ekonom sibuk membuat pernyataan dengan sejumlah prediksi. Ada yang optimistis, ada juga yang pesimistis. Ada yang menggulirkan prediksi bahwa ekonomi Indonesia 2012 bertumbuh 6,3 persen sampai 6,7 persen. Di Indonesia, pertumbuhan ekonomi selalu dikaitkan dengan penanaman modal asing (PMA), sementara penamanan modal asing ini sebagian besar dikaitkan dengan negara-negara Eropa dan AS.

Kita sepakat Eropa dan AS sedang mengalami krisis ekonomi sejak 2007. Bahkan baru-baru ini (16/10), di Times Square New York (Wall Street), sekelompok pengangguran berjumlah 14 juta orang berdemonstrasi atas kesulitan ekonomi yang dihadapi mereka. Mereka mengusung poster bertuliskan “Them Belly Full, We are Hungry” yang kalau diterjemahkan artinya kira-kira “perut mereka penuh, perut kita keroncongan”.

Ulah elite bisnis di Wall Street yang ditata dengan apik oleh regulator Washington membuat para kapitalis berbisnis dengan menipu di seluruh dunia. Penyebabnya sederhana. Majalah Newsweek dengan sederhana menjawab, “meminjam secara gila-gilaan.” Cermin ketidakpuasan terhadap situasi ekonomi sekarang juga terjadi di Hong Kong karena ekonomi negara itu berkiblat pada negara kapitalisme Barat.

Di Hong Kong, para aktivis juga melakukan aksi demonstrasi. Tujuan kecaman mereka adalah sebuah kenyataan bahwa Hong Kong sebagai pusat keuangan Asia justru lebih menjadi sarang segelintir elite untuk memperkaya diri. Gelombang demo ketidakpuasan juga terjadi di Sydney, Australia, dan Tokyo. Mereka mengkritisi pebisnis dan politisi yang dikatakan eksis hanya untuk melayani segerlintir elite, bukan mewakili kepentingan rakyat. Penulis beranggapan dari situasi di atas, rasanya sulit jika pada 2012 kita berharap PMA dari negara Eropa dan AS.

Dinosaurus Menunggu Mati
Bersanding terbalik dengan aksi demo di atas, beberapa narasi terkenal dikembangkan oleh penganjur gagasan globalisasi, seperti Kenichi Ohmae dalam The End of Nation State (1992). Ia menganalogikan dinosaurus yang menunggu mati dengan kegagalan negara dalam mengontrol dan melindungi nilai mata uang, juga tidak melakukan aktivitas ekonomi riil.

Tesis Ohmae dilanjutkan oleh Thomas L Friedman dalam The Lexus and The Olive Treed dan The World is Flat (2006). Di dalam tesis itu digambarkan hadirnya dunia abad ke-21 yang telah “diratakan (flat)” untuk menjadi arena mata rantai produksi global. Setiap orang, perusahaan, dan pemerintah terus memikirkan peluang yang menguntungkan guna memperbaiki nasib.

Peraih Nobel, Joseph E Stiglitz (Free Fall, 2010) dan Paul R Krugman (The Return of Economic Depresion, 2010), bersilang pendapat dan telah menisbikan tesis Ohmae dan Friedman. Stiglitz berpendapat keruntuhan Lehman Brother, September 2008, menandai berakhirnya kapitalisme pasar bebas. Krugman beropini negara yang selama ini dianggap sebagai pangkal masalah justru bergeser menjadi sumber masalah.

Kapitalisme pernah dijadikan jalan untuk memakmurkan, tapi kenyataannya kapitalisme belum berhasil mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan pengangguran, bahkan pengangguran mengalami pembengkakan dari tahun ke tahun. Di negara-negara kapitalisme seperti di AS, pengangguran meningkat 10 persen, Jerman 9,1 persen, Spanyol 45,7 persen, dan Yunani 38,5 persen. Semua persentase dihitung dari jumlah angkatan kerjanya.

Ketika melaporkan tanda-tanda pemulihan di AS, Financial Times berkelakar, “Pemulihan sejak 2009 boleh dinamai ‘kecewa besar’.” Koran itu menambahkan, “Banyak ekonom menilai bahwa utang yang harus dibayarkan akan menekan daya beli hingga beberapa tahun mendatang.” Begitu juga secara makroekonomi, sistem kapitalisme mengalami kondisi yang memprihatinkan, misalnya proporsi utang Yunani terhadap produk domestik bruto mencapai 140 persen.

Di AS, utang negara mencapai 14,3 triliun dollar AS, setara dengan PDB Amerika Serikat. Cepat atau lambat, wabah krisis ekonomi akan menjalar ke negara-negara Asia, termasuk Indonesia. Artinya, imbas krisis ekonomi Eropa dan AS akhirnya sampai ke negara seperti Indonesia, Vietnam, Th ailand, China, dan India, yang sulit menjual produk ekspornya ke Eropa dan AS karena krisis ekonomi.

Tahun 2012, diperlukan terobosan untuk dapat lolos dari krisis ekonomi global terhadap ekonomi nasional. Pada zaman lampau, dunia pernah mendapat tawaran frontal dalam memukul kapitalisme. Tawaran itu terlontar dari ide Karl Max yang berambisi menohok kapitalisme dengan menggelontorkan sebuah logika yang kemudian menjadi gerakan. Kapitalisme yang sekarat akan melahirkan revolusi proletar untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.

Tapi, berbagai krisis yang terjadi malah seakan-akan menjadi pupuk penyubur dan pelanggeng sistem ekonomi yang dicetuskan oleh Adam Smith itu. Walau kegagalan kapitalisme itu diakui oleh umum, kapitalisme, harus diakui, menciptakan kenikmatan individual dan kesejahteraan ekonomi secara kolektif. Tetapi, kita paham bahwa kapitalisme menghadirkan kesenjangan.

Kekayaan satu korporasi nyaris sama sengan kekayaan sejumlah negara miskin. Sistem kapitalisme dan sosialisme memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Semua sudah dicoba, dan gagal memakmurkan masyarakat secara luas. Karena itu, diperlukan suatu cara yang lebih cerdas guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang dapat memakmurkan rakyat secara adil. Apakah jatuh pilihannya pada sistem ekonomi syariah yang akhir-akhir ini cukup marak gaungnya dan diperbincangkan di kalangan ekonom, semuanya masih perlu diuji dan ditelaah lebih dalam.

Sebenarnya, untuk mencegah krisis ekonomi dan memakmurkan rakyat, ekonom tak perlu berpolemik soal sistem ekonomi kapitalisme, sosialisme, syariah, atau apa pun. Seperti ungkapan yang diucapkan Den Xiaoping, “Tak penting kucing hitam atau kucing putih, yang penting kucing itu bisa menangkap tikus.” Demikian juga di mata rakyat, tak penting sistem apa pun yang diterapkan, yang penting bisa membuat rakyat makmur, terpenuhi segala kebutuhannya.

Cita-cita luhur para pendiri bangsa Indonesia hanyalah membangun sistem ekonomi prorakyat yang berkeadilan dan humanistis yang tampak dari pasal-pasal yang terkait dengan ekonomi di UUD 1945 walau sampai saat ini masih jauh antara harapan dan kenyataannya.